Halaman

Senin, 18 November 2013

Mendidik : Bagaimana Seharusnya, Bukan Apa Adanya... (Sudarsyah Asep)

Kemarin sore saya mengobrol dengan supir taksi  kelahiran tahun 1954. Usianya hampir mendekati 60 tahun. Bagi pegawai negeri, usia segitu tentunya sudah pensiun. Pak supir ini agak berbeda, dalam usia tua masih tetap menjalani pekerjaan tidak mengambil waktunya untuk beristirahat walaupun anaknya selalu menyarankan untuk berhenti bekerja.
Kami ngobrol tentang apa saja yang kami sukai. Salah satu dari pembicaraan terselip masalah prilaku generasi sekarang dalam konteks di jalanan. Pak supir yang berusia lanjut tersebut sering merasa aneh alias heran mengenai prilaku remaja ketika mengendarai motor. Mereka sering memprovokasinya dengan cara menyalip, ngebut dan prilaku lainnya. Zaman telah berubah, katanya. 

Kemudian Pak supir bercerita  suatu peristiwa ketika mobilnya tergores oleh pengendara motor yang menyalip di sisi kiri. Aneh bin ajaib malah Pak supir taksi yang disalahkan. “ Saya tidak paham mengapa mereka sangat jauh berbeda ketika waktu kami masih muda, tak punya sopan santun. Mereka terlalu bebas, sulit mendidik anak sekarang”. [pesimis]
Kata-kata terlalu bebas itu mengingatkan saya  terhadap sebuah ungkapan: “Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu, mereka adalah putra-putri yang mencari kehidupan untuk dirinya sendiri. Kita bisa memberikan cinta padanya, bukan pikiran kita. Karena mereka menpunyai pikiran sendiri. Kita mungkin membangun sebuah rumah bagi tubuh mereka, tetapi tidak untuk jiwanya”. Lalu apa tugas kita?

Tugas kita adalah mendidik. Kita adalah orang tua, masyarakat dan pemerintah. Mendidik itu bukan soal apa adanya tetapi soal bagaimana seharusnya. Bagaimana seharusnya bersikap, berpengetahuan dan berketerampilan. Saya sebagai orang tua terkadang memberikan kebebasan dalam bersikap kepada anak-anak. Pembiaran mengembangkan sikap sendiri karena suatu saat pengalaman akan mengujinya: apakah sikap tersebut tepat atau tidak.  Yah, bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik ?
Tetapi pertanyaannya adalah apakah lingkungan memberikan pengalaman bagi anak-anak untuk menguji sikapnya.  Saya rasa tidak juga, lingkungan kita sudah sedemikian individualistik tidak mungkin para tetangga kita memberikan  pelajaran terbaik bagi anak-anak kita. Karena mereka pun menpunyai urusan masing-masing.
Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap pengembangan lingkungan ? Tentunya pemerintah berkewajiban menyediakan lingkungan kondusif bagi anak-anak kita tumbuh dan berkembang. Kita sering membaca iklan keberhasilan pemerintah atas dasar indikator makro, seperti nilai UN yang semakin meningkat, angka partisipasi pendidikan semakin tinggi, pemenuhan standar sarana dan prasarana yang terus menerus diupayakan. Sama seperti halnya seorang ekonom berbicara peningkatan kesejahteraan sosial melalui indikator makro seperti GNP, angka pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Tetapi ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan hidup.
Pak supir taksi pun menghentikan mobilnya. Tanpa terasa, saya sudah sampai tujuan, tetapi pikiran masih terus bertanya tentang bagaimana seharusnya kita mendidik anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa ini. 

Hari ini sampai jam 12.00 WIB, saya  menyaksikan bagaimana guru-guru sedang berdiskusi mengenai pemecahan masalah mendidik di kelasnya.  Mereka masih muda sekitar berusia antara 25 tahun sampai 30 tahunan. Mereka sedang memperagakan bagaimana seharusnya mengembangkan sikap, keterampilan dan pengetahuan siswa. Satu hal membuat saya optimis adalah mereka melakukannya dengan sukarela, begitu autentik diskusi dilaksanakan. Mereka  saling berbagi informasi tentang bagaimana seharusnya itu. Ini awal yang baik dari sharing kemudian dilanjutkan pulang ke sekolah masing-masing untuk menerapkan apa yang telah didiskusikannya. Kalau  masih ada supir taksi disamping saya, saya akan katakan padanya bahwa masih ada optimisme di depan. Karena masih ada guru-guru muda yang menpunyai self-renewal capacity dalam profesinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar