Kemarin sore saya mengobrol dengan supir taksi kelahiran tahun 1954. Usianya hampir mendekati 60 tahun. Bagi pegawai negeri, usia segitu tentunya sudah pensiun. Pak supir ini
agak berbeda, dalam usia tua masih tetap menjalani pekerjaan tidak
mengambil waktunya untuk beristirahat walaupun anaknya selalu
menyarankan untuk berhenti bekerja.
Kami ngobrol
tentang apa saja yang kami sukai. Salah satu dari pembicaraan terselip
masalah prilaku generasi sekarang dalam konteks di jalanan. Pak supir
yang berusia lanjut tersebut sering merasa aneh alias
heran mengenai prilaku remaja ketika mengendarai motor. Mereka sering
memprovokasinya dengan cara menyalip, ngebut dan prilaku lainnya. Zaman
telah berubah, katanya.
Kemudian Pak supir bercerita suatu peristiwa ketika mobilnya tergores oleh pengendara motor yang menyalip di sisi kiri. Aneh bin
ajaib malah Pak supir taksi yang disalahkan. “ Saya tidak paham mengapa
mereka sangat jauh berbeda ketika waktu kami masih muda, tak punya
sopan santun. Mereka terlalu bebas, sulit mendidik anak sekarang”.
[pesimis]
Kata-kata
terlalu bebas itu mengingatkan saya terhadap sebuah ungkapan:
“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu, mereka adalah putra-putri yang
mencari kehidupan untuk dirinya sendiri. Kita bisa memberikan cinta
padanya, bukan pikiran kita. Karena mereka menpunyai pikiran sendiri.
Kita mungkin membangun sebuah rumah bagi tubuh mereka, tetapi tidak
untuk jiwanya”. Lalu apa tugas kita?
Tugas kita
adalah mendidik. Kita adalah orang tua, masyarakat dan pemerintah.
Mendidik itu bukan soal apa adanya tetapi soal bagaimana seharusnya.
Bagaimana seharusnya bersikap, berpengetahuan dan berketerampilan. Saya
sebagai orang tua terkadang memberikan kebebasan dalam bersikap kepada
anak-anak. Pembiaran mengembangkan sikap sendiri karena suatu saat
pengalaman akan mengujinya: apakah sikap tersebut tepat atau tidak.
Yah, bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik ?
Tetapi
pertanyaannya adalah apakah lingkungan memberikan pengalaman bagi
anak-anak untuk menguji sikapnya. Saya rasa tidak juga, lingkungan kita
sudah sedemikian individualistik tidak mungkin para tetangga kita
memberikan pelajaran terbaik bagi anak-anak kita. Karena mereka pun
menpunyai urusan masing-masing.
Lalu siapa yang
bertanggung jawab terhadap pengembangan lingkungan ? Tentunya pemerintah
berkewajiban menyediakan lingkungan kondusif bagi anak-anak kita tumbuh
dan berkembang. Kita sering membaca iklan keberhasilan pemerintah atas dasar indikator makro,
seperti nilai UN yang semakin meningkat, angka partisipasi pendidikan
semakin tinggi, pemenuhan standar sarana dan prasarana yang terus
menerus diupayakan. Sama seperti halnya seorang ekonom berbicara
peningkatan kesejahteraan sosial melalui indikator makro seperti GNP,
angka pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Tetapi ternyata tidak
sepenuhnya mencerminkan kenyataan hidup.
Pak supir taksi
pun menghentikan mobilnya. Tanpa terasa, saya sudah sampai tujuan,
tetapi pikiran masih terus bertanya tentang bagaimana seharusnya kita
mendidik anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa ini.
Hari ini
sampai jam 12.00 WIB, saya menyaksikan bagaimana guru-guru sedang
berdiskusi mengenai pemecahan masalah mendidik di kelasnya. Mereka
masih muda sekitar berusia antara 25 tahun sampai 30 tahunan. Mereka
sedang memperagakan bagaimana seharusnya mengembangkan sikap,
keterampilan dan pengetahuan siswa. Satu hal membuat saya optimis adalah
mereka melakukannya dengan sukarela, begitu autentik diskusi
dilaksanakan. Mereka saling berbagi informasi tentang bagaimana
seharusnya itu. Ini awal yang baik dari sharing kemudian dilanjutkan
pulang ke sekolah masing-masing untuk menerapkan apa yang telah
didiskusikannya. Kalau masih ada supir taksi disamping saya, saya akan
katakan padanya bahwa masih ada optimisme di depan. Karena masih ada
guru-guru muda yang menpunyai self-renewal capacity dalam profesinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar